Bima Raya

Mengabarkan Lebih Luas

Meneladani Semangat Pahlawan, Wildae D. Binti: Melestarikan Budaya Adalah Bentuk Perjuangan di Zaman Modern

Kepala UPT. Taman Budaya Kalteng, Wildae D. Binti (IST)

BIMARAYA, PALANGKA RAYA – Malam itu, di panggung Taman Budaya Kalimantan Tengah, sekelompok penari Dayak menyelesaikan gerak terakhir mereka dengan penuh semangat. Tepuk tangan penonton menggema. Di antara keramaian itu, berdiri sosok perempuan dengan senyum hangat — Wildae D. Binti, Kepala UPT Taman Budaya Kalimantan Tengah.

Senyumnya tenang, tapi langkahnya penuh arah. Wildae bukan sekadar penonton. Ia adalah penggerak di balik hidupnya ruang budaya Kalteng — panggung yang terus berdenyut berkat kerja keras dan keyakinannya bahwa budaya adalah nadi peradaban yang tak boleh padam.

Di momen peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025, Wildae tak membawa senjata, tapi semangat juangnya tak kalah besar. Ia berjuang di medan sunyi: melestarikan seni dan budaya daerah di tengah arus globalisasi.

“Perjuangan hari ini bukan lagi tentang mengangkat senjata,” ujarnya suatu ketika. “Bagi saya, perjuangan adalah menjaga jati diri bangsa lewat karya budaya. Karena kalau budaya kita hilang, kita kehilangan arah.”

Sejak dipercaya memimpin UPT Taman Budaya Kalteng, Wildae mengubah lembaga itu menjadi lebih dari sekadar tempat pertunjukan. Di tangannya, taman budaya menjelma menjadi laboratorium kehidupan, tempat seniman muda menemukan makna, ruang berekspresi, dan kebanggaan atas identitas daerahnya.

Wildae dikenal sebagai sosok yang hangat namun tegas dalam visi. Ia jarang berbicara panjang di depan kamera, tapi kerja-kerjanya berbicara lebih lantang: dari panggung pertunjukan hingga ruang-ruang pelatihan. Ia hadir di setiap festival budaya, workshop seni, hingga pemilihan putra-putri kebudayaan.

“Seni bukan sekadar hiburan,” katanya pelan. “Ia adalah pesan, adalah wajah kita.”

Bagi Wildae, setiap pementasan adalah perlawanan — melawan lupa, melawan apatisme, dan melawan derasnya budaya instan yang menggerus akar lokalitas. Karena itu, ia membuka ruang bagi generasi muda: mengadakan pelatihan, lokakarya musik tradisional, hingga pembinaan sanggar tari daerah.

“Ketika anak muda mulai mencintai budayanya sendiri, maka kita sedang menyiapkan pahlawan masa depan,” ujarnya penuh keyakinan.

Wildae percaya bahwa anak-anak muda Kalimantan Tengah memiliki bakat dan semangat luar biasa. Yang mereka butuhkan hanyalah kesempatan dan kepercayaan. Dari tangan-tangan muda itulah, ia menanam benih harapan bahwa suara kecapi dan langkah tari tradisional tak akan pernah hilang dari bumi Isen Mulang.

Namun perjuangannya tak selalu mudah. Keterbatasan anggaran, perhatian publik yang naik-turun, dan pandangan sebelah mata terhadap dunia kebudayaan menjadi tantangan sehari-hari. Tapi Wildae memilih bertahan.

“Kalau saya menyerah, siapa yang akan melanjutkan?” katanya suatu malam, menatap panggung kosong yang menunggu giliran dipenuhi cahaya.

Di dalam dirinya, semangat para pahlawan masih menyala — semangat untuk terus berbuat tanpa pamrih demi kelangsungan budaya Kalimantan Tengah.

Wildae D. Binti mungkin tak tercatat di buku sejarah nasional. Tapi bagi para seniman, budayawan, dan anak-anak muda Kalteng, namanya hidup di ruang yang lebih abadi: di hati mereka.

Sebab kepahlawanan, baginya, tak selalu lahir di medan perang. Kadang, ia hadir di petikan kecapi, di langkah penari, dan di hati seorang perempuan yang tak lelah mencintai budayanya sendiri. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
Exit mobile version