Bima Raya

Mengabarkan Lebih Luas

Benny M. Tundan: Sutradara Visioner di Balik Sendratari Rubui Manawang

Benny saat wawancara pada awak media di Teater Taman Budaya Kalteng, Sabtu (10/05/2025). Foto : Ist

BIMARAYA, PALANGKA RAYA – Sutradara sendratari Rubui Manawang, Benny M. Tundan, menyampaikan bahwa pertunjukan seni ini bukan sekadar pentas budaya biasa, melainkan medium untuk memperkuat identitas dan potensi sumber daya manusia (SDM) Kalimantan Tengah. Dengan melibatkan berbagai generasi, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, karya ini menjadi simbol kebangkitan seni lokal yang berpadu dengan perkembangan teknologi global.

“Kita memiliki SDM luar biasa, dan Rubui Manawang adalah cara kita melakukan branding budaya Kalimantan Tengah. Sendratari ini juga akan menjadi program berkelanjutan untuk memaksimalkan pemanfaatan teater kecil yang baru dibangun,” ujar Benny saat wawancara pada awak media di Teater Taman Budaya Kalteng, Sabtu (10/05/2025).

Rubui Manawang mengangkat figur spiritual Nini Punyut, tokoh ikonik dari suku Dayak Ma’anyan. Menurut Benny, pertunjukan ini bertujuan merefleksikan kebijaksanaan dan kecerdasan alami dari tokoh tersebut, yang ternyata memiliki kemiripan dengan prinsip kecerdasan buatan (AI) yang kini sedang dikembangkan secara global.

“Baru-baru ini, Wakil Presiden RI menegaskan pentingnya kurikulum AI dan coding di tingkat pendidikan dasar hingga menengah. Menariknya, tema Rubui Manawang ini justru sudah lebih dulu kami siapkan dan kini sejalan dengan arah kebijakan nasional,” ungkap Benny.

Benny mengaku telah melakukan riset selama empat bulan tentang AI dan spiritualitas Nini Punyut, dan mendapat sambutan positif dari pemerintah pusat. Momentum pertunjukan ini pun dirasa sangat tepat, karena bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional.

“Ini seperti restu dari Tuhan, dari pemimpin kita, dan masyarakat luas. Rubui Manawang adalah bentuk refleksi bahwa kecerdasan alami yang dimiliki leluhur kita seperti Nini Punyut tidak kalah dengan kecerdasan buatan modern. Ia mampu memimpin masyarakat, menetapkan hukum adat, hingga memiliki pengetahuan astronomi dan pengobatan tradisional,” tambahnya.

Benny berharap sendratari ini bisa menjadi ikon baru kebudayaan Kalimantan Tengah, sejajar dengan sendratari besar seperti Ramayana dan Mahabharata dari Jawa dan Bali. Rubui Manawang sendiri sudah dikembangkan sejak 2014 dan akan terus dipentaskan secara berkala.

Sebagai penutup, Benny menyampaikan harapan agar budaya saweran—tradisi melempar uang sebagai bentuk apresiasi di akhir pertunjukan—bisa menjadi momen spesial yang diangkat dan diperkenalkan ke dunia internasional. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
Exit mobile version