Bima Raya

Mengabarkan Lebih Luas

Skandal Tali Asih PT. NPR di Karendan: Warga Desak Investigasi Nasional, Dugaan Kolusi Kades hingga Aparat Mengemuka

Muara Teweh – Skandal dugaan kolusi dan penyalahgunaan wewenang dalam pembebasan lahan seluas 190 hektare oleh PT. Nusa Persada Resources (NPR) di wilayah adat Desa Karendan, Kecamatan Lahei, Kabupaten Barito Utara, mencuat ke publik. Sorotan tajam kini tertuju pada keterlibatan oknum pejabat desa, aktor lapangan, hingga dugaan campur tangan aparat penegak hukum dalam proses pembebasan yang dianggap cacat hukum dan tidak transparan.

Salah satu tokoh yang menjadi perhatian adalah Kepala Desa Muara Pari, Mukti Ali, yang diketahui menerima dana tali asih dari PT. NPR meski tidak memiliki hak atas lahan yang dimaksud. Warga menduga, skema ini dirancang oleh Arif Subhan—aktor lapangan PT. NPR—untuk memuluskan pengambilalihan lahan milik masyarakat adat Karendan.

“Kades Muara Pari tidak punya legitimasi apapun atas lahan itu. Tapi justru menerima miliaran rupiah dana tali asih, diduga dikondisikan oleh Arif Subhan dari PT. NPR,” ujar salah satu warga pelapor.

Lebih lanjut, warga mengungkap bahwa dana tali asih sebesar Rp 4,75 miliar dicairkan secara tertutup di ruang kerja Kapolres Barito Utara, tanpa melibatkan pemilik lahan sah, camat, maupun tokoh adat setempat. Dalam rekaman suara yang beredar, pimpinan PT. NPR, Hirung, bahkan menyebut bahwa proses itu dijalankan “sesuai arahan Pak Kapolres”.

Pernyataan ini semakin memperkuat dugaan keterlibatan oknum aparat dalam memfasilitasi praktik ilegal tersebut.

Berbagai pasal dalam KUHP, UU Tipikor, hingga UU Minerba dan Perdata diduga dilanggar dalam skandal ini, antara lain:

Pasal 372 KUHP (penggelapan)

Pasal 263 KUHP (pemalsuan dokumen)

Pasal 3 UU Tipikor (penyalahgunaan wewenang)

Pasal 136 UU Minerba (pengabaian hak atas tanah sebelum produksi)

Pasal 1365 KUHPerdata (perbuatan melawan hukum)

Selain itu, warga juga melaporkan bahwa PT. NPR merusak dua pondok ladang dan tiga rumah pondok lainnya milik masyarakat adat menggunakan alat berat, tanpa proses hukum atau pengadilan.

Masyarakat Karendan menyampaikan bahwa mereka tidak menolak aktivitas pertambangan selama dijalankan secara adil dan menghargai hak masyarakat adat. Namun yang terjadi saat ini, kata mereka, justru perampasan lahan secara sepihak, intimidasi, dan pemalsuan legitimasi penerima dana.

“Kami bukan menolak pertambangan, tapi kami menolak tanah kami dirampas tanpa ganti rugi dan dilecehkan secara hukum,” tegas Heri, perwakilan warga.

Sebagai respons atas pelanggaran yang terjadi, masyarakat menuntut:

1. Dibentuknya Tim Gabungan Investigasi Nasional, melibatkan KPK, Mabes Polri, Komnas HAM, Kementerian ESDM dan KLHK.

2. Audit terbuka seluruh proses pendataan dan aliran dana tali asih.

3. Pemanggilan resmi terhadap Hirung (PT. NPR), Arif Subhan, dan Kades Muara Pari.

4. Evaluasi peran Dinas Kehutanan dan ESDM Provinsi, yang dinilai abai dalam pengawasan.

5. Penghentian sementara semua aktivitas tambang PT. NPR di wilayah Karendan hingga hak masyarakat dipulihkan.

 

Ironisnya, beberapa warga pemilik ladang justru dilaporkan balik ke Polres atas tuduhan perambahan hutan, padahal mereka telah menempati wilayah tersebut jauh sebelum PT. NPR memperoleh izin IPPKH. Hal ini bertentangan dengan Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa masyarakat yang telah menguasai lahan sebelum penetapan kawasan hutan harus diberi kompensasi yang layak.

Skandal ini mencerminkan bagaimana ketimpangan kuasa dan hukum masih dialami masyarakat adat di garis depan eksploitasi sumber daya. Ketika suara rakyat kecil diabaikan, maka yang tersisa hanyalah perlawanan sebagai bentuk mempertahankan hak hidup.

“Kami masyarakat kecil hanya ingin keadilan, bukan intimidasi. Kalau negara diam, maka masyarakat akan bertindak membela tanahnya sendiri,” tutup pernyataan warga dengan penuh ketegasan. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
Exit mobile version